Perjuangan Adalah Pelaksanaan Kata-Kata
Pernah seorang dari kelompok garis keras
di India, melakukan aksi mengerikan dengan menjahit menjadi satu bibir atas dan
bawahnya sebagai protes terhadap terlalu seringnya rakyat dan kaum miskin di
negara itu mendapatkan janji-janji yang tidak dipenuhi dari para pejabat dan
politisi negara itu. Beberapa tahun lalu, sekelompok mahasiswa di Indonesia
juga pernah melancarkan aksi Gerakan Tutup Mulut (GTM) di Gedung Dewan dengan
misi yang kira-kira tidak jauh berbeda dengan rakyat di India. Bahkan mereka
tidak hanya mogok bicara dalam aksi tersebut melainkan juga menutup mulut untuk
tidak makan selama beberapa hari.
Satu sisi aksi-aksi tersebut dipandang sebagai gerakan
yang ekstrim yang memang biasanya juga dilakukan oleh kelompok ekstrim di
berbagai negara. Ekstrim karena memang mungkin tidak ada cara lain yang bisa
dilakukan karena berbagai cara sebelumnya sudah dicoba dan terbukti tidak
berhasil menekan para pejabat dan politisi untuk merealisasikan janji-janjinya
dahulu, juga untuk sementara menyetop janji-janji baru agar tidak menumpuk
“hutang” mereka kepada rakyat. Disisi lain, kita seharusnya pun menyadari bahwa
pada masanya kita akan berada di dua posisi, yakni posisi sebagaimana mereka
yang ekstrim dan posisi dimana kita menjadi orang yang diminta untuk berhenti
bicara, apa saja!
Sebagai rakyat dan kaum yang tidak berkuasa, tentu
telinga ini sudah sedemikian pengang dengan seabreg janji dan celoteh
orang-orang di atas. Namun tak perlu semua dari kita melakukan aksi tutup mulut
karena sudah terwakili oleh mahasiswa-mahasiswa yang senasib sependeritaan
dengan kita, ini semacam fardhu kifayah. Namun adakalanya tanpa bisa bergeser,
tanpa harus menampik dan sering tanpa disadari kita yang pada kesempatan lain
sering memprotes orang yang kebanyakan ngomong, di kesempatan lainnya justru
orang lain yang menyuruh mulut dan lidah ini sejenak berhenti berkicau.
Berbagai cara orang lain melakukan upaya membekap mulut ini, ada yang hanya
dengan diam seribu bahasa dan menutup rapat-rapat telinganya, memilih untuk
tidur dan tak menghiraukan omongan yang menurut mereka hanya bualan-bualan yang
membosankan, atau bahkan dengan cara maju kehadapan dan serta merta menampar
bibir ini agar diam.
Mungkin diantaranya kita, yang berprofesi sebagai
kepala, pimpinan atau atasan dari sekelompok orang, yang bersikap otoriter
mengatur, memerintah sesuai keinginannya tanpa mau mendengar masukan dari
bawah. Mungkin sebagai orangtua yang keras dan mengekang anak-anak dengan cara
yang menurut kita benar, tanpa mempedulikan aspirasi dan kemauan anak-anak.
Bisa juga sebagai kakak dari adik-adik, yang merasa harus dihormati dan
didengar kata-katanya. Mungkin juga sebagai juru dakwah yang sepanjang hidupnya
mengeluarkan banyak kata. Atau sebagai apapun predikat dan profesi kita yang
memang bersentuhan dengan kepentingan orang lain, yang seringkali bertindak
semena-mena menurut cara dan kemauannya sendiri.
Sadarlah kita kemudian bahwa apapun yang kita lakukan
selama ini sebagai apapun diri ini, disengaja atau tidak, terpaksa ataupun
karena tuntutan profesi dan kepentingan, terlalu banyak mungkin kata-kata yang
keluar dari mulut ini dan jumlahnya sangat tidak berimbang dengan jumlah
perbuatan yang sudah kita lakukan sebagai refleksi dari kata-kata yang telah
terlontarkan itu. Dan semakin seharusnya kita menyadari, bahwa bertambah hari,
bertambah waktu, bertambah juga kata-kata yang keluar dari mulut ini, maka
bertambah pulalah tuntutan terhadap diri ini untuk mengaplikasikannya. Dan
mungkin, ada diantara kita yang semakin menumpuk daftar kata-kata yang belum
dikerjakannya.
Murka Allah, tentu saja itu yang akan kita dapatkan
dari perbuatan bodoh kita yang mengumbar kata-kata tanpa mampu
merealisasikannya. Hal itu jelas termaktub dalam ayat suci-Nya yang berbunyi, “
… Amat besar kebencian Allah disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tiada kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff : 3) setelah sebelumnya Allah
mempertanyakan kenapa kita melakukan hal yang demikian. Astaghfirullaah,
gerising hati ini membayangkan betapa banyak sudah kata-kata terucap tanpa bisa
kita mengerjakannya, dan tumpukan kata dan janji tak terlaksana itulah yang
akan menjegal langkah ini dan juga menjadikan alasan pembenaran untuk
melemparkan diri ini ke jurang neraka-Nya. Padahal junjungan dan teladan kita
Rasulullah sudah jelas-jelas mencontohkan untuk mengerjakan terlebih dulu apa
yang hendak kita katakan. Wallahu ‘a’lam bishshowaab
Dari tulisan Inpirasi -Bayu Gautama-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar